Jumat, 14 Januari 2011

ADIPATI ARYA ADIKARA WIRARAJA (Bab II)

BAB II
KERAJAAN MAJAPAHIT

1. RADEN WIJAYA MENGUNGSI KE SUMENEP

Diceritakan bahwasanya Raden Wijaya telah beberapa kali selalu terhindar dari bahaya maut kejaran pasukan Jayakatwang, tetapi karena dirinya sebagai panglima perang yang cakap dan tangguh. Dan masih mampu mengatur siasat bersama dengan beberapa pengikut setianya untuk mengelabui para musuh-musuhnya. Terutama Lembusora yang punya peranan penting dalam mengatur strategi tersebut dan bilamana terjadi pertempuran hebat, dapat dipastikan Lembusora selalu dekat dengan Raden Wijaya untuk melindunginya. Selanjutnya rombongan Raden Wijaya berupaya menuju ke utara kearah pantai, dalam setiap perjalanan mereka selalu saja berpapasan dengan pasukan musuh yang hanya berjumlah agak kecil dan masih mampu menanggulanginya. Untuk mengurangi hambatan yang selalu datang dengan tiba-tiba maka perjalanannya banyak dilakukan pada malam hari, bilamana siang hari bersembunyi di desa-desa yang masih memihak kepada kerajaan Singasari.
Dengan mengalami banyak rintangan yang tidak kecil Raden Wijaya tetap melanjutkan perjalanannya menuju pantai, dan untuk mengelabuhi para pasukan musuh maka memilih naik perahu alur kali Brantas,  dengan demikian merupakan suatu hambatan bagi pasukan Jayakatwang untuk mengejarnya. Setelah rombongan Raden Wijaya tiba di pantai utara Jawa Timur, dirinya mengalami kelelahan luar biasa dan berupaya mencari tempat untuk beristirahat sementara.
Dari desa Datar maka Raden Wijaya mendapatkan perahu menelusuri sungai Brantas kemudian menyeberangi selat Madura menuju ke Sumenep, selanjutnya terus berlayar dan mendarat di pesisir pulau tandus tersebut. Diceritakan bahwa ketika perjalanan di Madura para rombongan Raden Wijaya sampai di suatu desa melepaskan lelah dan beristirahat. Dalam peristirahatan tersebut Lembusora tidur terlentang dengan menyediakan dadanya untuk diduduki oleh Raden Wijaya bersama permaisurinya, hal itu menunjukkan kesetiaan Lembusora terhadap junjungannya, seperti yang dikisahkan bahwa Lembusora adalah saudara dari Arya Wiraraja dan disebut sebagai orang Madura yang keras. Maka timbul kesan bahwa sekalipun orang Madura tampak tegas dan keras tapi masih tetap tidak meninggalkan budaya ketimuran, yakni sangat setia kepada pemimpin selaku panutannya, bahkan lebih condong kepada paternalistik.
Setelah beberapa waktu kemudian sampailah rombongan Raden Wijaya ke Kadipaten Arya Wiraraja di Batuputih Sumenep. Kebetulan kala itu Arya Wiraraja sedang melakukan pasowanan di pendopo agung yang dihadap oleh para pembesar keraton Sumenep. Begitu melihat kedatangan Raden Wijaya bersama rombongan maka Arya Wiraraja membubarkan pasowanan tersebut, kemudian meninggalkan pendopo agung. Dan Raden Wijaya yang masih ada didepan regol kadipaten bersama rombongan merasa tersinggung dengan sikap Sang Adipati, namun oleh para pengikutnya dimohon agar tetap bersabar, karena Adipari Sumenep merupakan harapan terakhir untuk minta perlindungan.
Setelah beberapa waktu berselang Adipati Arya Wiraraja datang menuju pendopo agung diiringi beberapa Lurah dan inang pengasuh serta para Sinden (penari istana) yang merupakan penyambutan yang luar biasa dilakukan oleh Arya Wiraraja demi baktinya pada junjungannya. Kemudian permaisuri Raden Wijaya dinaikkan tandu sedang Raden Wijaya dipersilahkan naik kuda yang disiapkan, yang dituntun oleh Arya Wiraraja menuju balairung utama di belakang regol tengah. Disana telah disiapkan bermacam-macam makanan lezat lengkap dengan buah-buahan serta minumannya. Raden Wijaya bersama permaisurinya juga dengan para pengikutnya. Sambil lalu disuguhi dengan berbagai pertunjukan. Setelah selesai diadakan pertunjukan maka Raden Wijaya dengan permaisurinya dianjurkan beristirahat di tempat yang telah disediakan serta telah ditata sedemikian rupa sebagai penghormatan terhadap calon Raja di tanah Jawa kelak, dan hal itu telah bisa diamati oleh Arya Wiraraja sebagai pengamat politik yang handal.
Setelah beberapa hari maka Raden Wijaya mengutarakan maksud hatinya kepada Arya Wiraraja, dan Arya Wiraraja memahami maksud serta tujuan Raden Wijaya, maka Sang Adipati mulailah mengatur strategi dan menganjurkan agar Raden Wijaya menyerahkan diri kepada Jayakatwang dengan jaminan dirinya. Bilamana terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, dan Arya Wiraraja bersedia sepenuhnya untuk mengatur segalanya hingga perjuangan Raden Wijaya berhasil yakni membangun kembali kerajaan Singasari yang telah luluh lantak, untuk meneruskan dinasti Ken Arok.
Dalam mengatur siasat, Raden Wijaya memberikan kepercayaan penuh kepada Arya Wiraraja, maka dengan leluasa Arya Wiraraja mengatur strategi selanjutnya. Yang pertama yakni menganjurkan Raden Wijaya agar mau tunduk kepada Jayakatwang sebagai tanda takluk. Sekalipun  rasanya sangat berat bagi Raden Wijaya dengan anjuran Arya Wiraraja tersebut, namun setelah Arya Wiraraja memberikan jaminan serta memberikan pengertian tentang  strateginya tersebut. Maka Raden Wijaya mengikuti saja apa yang ditentukan Arya Wiraraja, sekalipun hal itu sangat pantang bagi seorang kesatria atau panglima perang seperti Raden Wijaya. Namun karena merupakan suatu rencana besar, mau tidak mau dirinya harus rela mengorbankan harga dirinya untuk sementara demi keberhasilannya merebut tahta kerajaan Singasari milik mertuanya juga merupakan  warisan dari leluhurnya.
Maka Arya Wiraraja menulis surat kepada Jayakatwang yang telah menduduki singgasana, yang diantarkan oleh Arya Wirondaya putranya. Surat tersebut berisi pemberitahuan takluk dari Raden Wijaya dan akan mengabdi kepada Jayakatwang. Setelah surat diterima dan dibaca maka Jayakatwang tertawa senang. Karena dengan adanya Raden Wijaya mau mengabdi kepadanya berarti telah mengakui bahwa dirinya sebagai raja yang syah di tanah Jawa. Apalagi diperkuat oleh dukungan Arya Wiraraja. Dan berangkatlah Raden Wijaya bersama pengikutnya diantar oleh Arya Wiraraja sampai di Terung. Setelah Raden Wijaya sampai di Jungbiru mengirimkan utusan kepada Jayakatwang, kemudian dikirimkan menteri Sagara Winotan dan Jangkung Anilo untuk menjemput Raden Wijaya. Sesampainya di istana maka Raden Wijaya disambut dengan suka cita oleh Jayakatwang, yang  kala itu bersamaan dengan perayaan Galungan.     
Setelah Raden Wijaya berada dalam keraton Kediri bersama pengikutnya, selalu menampakkan sikap yang tunduk dan patuh atas segala yang dititahkan kepadanya, sehingga kecurigaan Jayakatwang berkurang kepadanya. Tapi penjagaan/pengawasan tetap dilakukan, ini menjaga agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Raden Wijaya beserta pengikutnya seolah acuh saja pada pengawasan tersebut, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Sikap apatis tersebut menimbulkan rasa simpati dari Jayakatwang, yang sekalipun sebelumnya sangat hati-hati karena Raden Wijaya masih dianggap sebagai mantan musuh yangperlu dicurigai.
Beberapa waktu kemudian Arya Wiraraja menanyakan sikap Raden Wijaya, ternyata Jayakatwang memuji atas sifat serta sikap Raden Wijaya yang tampak betul-betul tunduk kepadanya. Dengan demikian mulailah Arya Wiraraja memasukkan siasat yang kedua, yakni agar Jayakatwang memberikan tanah perdikan, dalam pandangan Arya Wiraraja tampak bahwa Jayakatwang agak berat atas sarannya. Tapi dengan nada merendah Arya Wiraraja menyarankan agar Raden Wijaya diberi sebidang tanah di wilayah hutan Tarik,  selatan Mojokerto didekat Trowulan, yang tanahnya dikenal tandus dan kering. Pada umumnya adat Raja-raja tanah Jawa selalu memberikan anugerah tanah (apanage) kepada pegawai-pegawai kelas atas yang setia kepada raja, juga hal ini yang dijadikan dasar bagi Arya Wiraraja untuk membujuk Jayakatwang. Yang tujuan utamanya adalah agar Raden Wijaya nantinya bisa lebih leluasa mengatur segala siasat selanjutnya. Juga bagi Raden Wijaya bersama pengikut setianya lebih baik bertempat di tanah yang tandus tersebut dari pada ada di dalam keraton Kediri, karena bila tetap berada di dalam lingkup istana merasa kurang leluasa.
Usulan Arya Wiraraja tersebut bukan tidak ada relevansinya terhadap strategi yang telah diatur sejak awal. Karena hutan Tarik merupakan adalah tanah tandus yang menurut Arya Wiraraja, Jayakatwang akan berpikir bahwa tidak mungkin untuk berkembang dengan baik. Selain itu juga wilayah tersebut sangat dekat dengan Madura (Sumenep) dan bilamana nantinya mengirimkan sesuatu baik pasukan atau perbekalan tidak mudah diketahui oleh para laskar Kediri yang jauh berada di arah barat agak ke Selatan, sekalipun ada pasukan khusus tidak akan seberapa kekuatannya.
Setelah mendapatkan anugerah maka Raden Wijaya bersama para pengikut setianya yang diantar oleh Arya Wiraraja berangkat menuju hutan Tarik, yang di sana telah menunggu pasukan dari Sumenep. Mereka bisa berperan ganda, yakni sebagai tentara perang juga sebagai petani penggarap tanah, karena pada umumnya masyarakat Sumenep kala itu sangat mahir menggarap tanah, sekalipun tanah tersebut sangat tandus, karena dalam hal  bercocok tanam orang Sumenep tidak pernah putus asa. Karena sudah terbiasa di daerah yang tanahnya sangat tandus, jadi tidak terikat pada menanam padi saja, bisa jagung, ketela pohon serta palawija lainnya. Dan kemudian di hutan Tarik berdirilah sebuah pedukuhan, yang dinamakan pedukuhan Wilwatikta atau Majapahit.
Nama Majapahit tertuang dalam kitab Nagarakertagama bahwa, dikala membabat hutan selama berhari-hari rupanya kekurangan bekal, sedangkan bekal makanan kiriman dari Sumenep masih belum tiba jua, maka di antara para pasukan mencari buah-buahan untuk dijadikan makanan. Kebetulan di sana ada pohon maja (wilwa = bah. Jawa) yang berbuah lebat, diambilnya buah tersebut lalu dimakannya, ternyata rasanya amat pahit, maka pedukuhan tersebut diberi nama Wilwatikta atau Majapahit. Dan menurut sebagian alhi sejarah bahwa dinamakannya Majapahit karena dalam merintis perjuangan berdirinya kerajaan tersebut sangat pahit.
Menurut pendapat Jayakatwang memberi anugerah tanah apanage di wilayah Tarik kepada Raden Wijaya merupakan suatu keuntungan baginya, yaitu bilamana tanah tersebut bisa diolah dengan baik oleh orang-orang Sumenep, maka akan menambah devisa kerajaan, selain juga pengawasannya juga lebih mudah bagi Kediri untuk memantau setiap aktivitas Raden Wijaya di pedukuhan tersebut. Jayakatwang menganggap Raden Wijaya merupakan seorang pembantu yang setia dan pantas untuk mengawasi mobilitas di kali Brantas bagian hilir. Karena kala itu kali Brantas merupakan sarana transportasi yang sangat vital untuk melakukan aktivitas perdagangan dari pantai utara pulau Jawa menuju pusat Kerajaan Kediri. Juga melalui kali Brantaslah para pedagang dari luar pulau Jawa seperti dari tanah Hindustan, Melayu, daratan China bahkan dari wilayah Asia Barat seperti Gujarat dan Parsi.
Setelah selesai pembabatan hutan Tarik, maka Arya Wiraraja mengirimkan kuda Sumbawa sebanyak 27 ekor, persediaan makanan dan  ribuan pasukan perang yang dipimpin oleh putranya yang bernama Arya Ranggalawe naik perahu melalui laut. Kala pengiriman sarana perang tersebut Dewi Tribuwana dibawa serta ke Majapahit. Diikuti beberapa dayang dari keraton Batuputih di Sumenep untuk mendampingi seta merawat Sang Dewi dalam perjalanan. 

2. ARYA WIRARAJA PENDIRI KERAJAAN MAJAPAHIT

Pada masa kejayaan Singasari dalam pemerintahan Prabu Kertanegara, hingga meluas hampir menguasai seluruh kepulauan Nusantara, dan hal itu terdengar ditelinga Raja Mongol keturunan Tar-tar di daratan China yang dipimpin oleh Kaisar Kubilai Khan, sehingga menerbitkan selera bagi Maharaja daratan China tersebut untuk mengirimkan pasukannya ke pusat kerajaan Singasari. Dikirimkanlah sebuah armada besar yang dipimpin oleh Jenderal Ming Kie, membawa surat dari Kaisar Kubilai Khan yang meminta agar Raja Kertanegara mengakui kebesaran Maharaja/Kaisar Kubilai Khan dengan memberikan upeti berupa 60.000 tail emas per tahun.
Tentunya Raja Kertanegara sebagai Raja penguasa besar yang menguasai sebagian besar kepulauan Nusantara merasa tersinggung dengan adanya surat dari Kaisar Kubilai Khan tersebut, dan merupakan sebagai pelecehan. Dengan rasa amarahnya Prabu Kertanegara menghunus kerisnya kemudian memotong kuping dari Jenderal Ming Kie, dan disuruh pulang agar memberitahukan kepada Rajanya. Perbuatan Prabu Kertanegara sesungguhnya telah melanggar etika dengan menganiaya seorang duta (utusan), dan merupakan suatu tanda sebagai tantangan perang kepada pengutusnya yakni Kaisar Kubilai Khan. Setibanya Jenderal Ming Kie di daratan China, langsung melaporkan kejadiannya kepada Kaisar Kubilai Khan, betapa marahnya sang Kaisar yang memang jago berperang tersebut, tapi tidak mengirimkan pasukan saat itu juga karena situasi tidak memungkinkan.
Sebab sebelum memberangkatkan armadanya ke pulau Jawa, harus menunggu datangnya musim angin yang menuju ke arah Selatan atau yang bisa memungkinkan mudahnya perjalanan pelayaran yang akan ditempuh nanti. Di samping juga Kubilai Khan membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk mengumpulkan segala sesuatunya antara lain : kualitas serta kuantitas pasukan seta perbekalan yang cukup selama diperkirakan dalam adanya muhibah tersebut, serta kesiapan kapal-kapal perangnya yang khusus disediakan untuk sarana penyerangan keluar daratan China. Dan pada awal tahun 1292 berangkatlah pasukan expedisi Tiongkok yang berjumlah sangat besar dan dipimpin oleh tiga Jenderal besar yakni : Jenderal Che Pi sebagai Pemimpin Utama, dan Jenderal Jiko Mieshu serta Jenderal Kau Shing sebagai pembantu utamanya.
           Dengan kelengahan dari Raja Jayakatwang di Kediri, maka Arya Wiraraja tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik untuk segera menyusun strategi dengan mengumpulkan para pasukan dari Sumenep yang sebelumnya sudah dipersiapkan. Kesiapan Arya Wiraraja rupanya telah diperhitungkan dengan baik, yakni sekalipun sekuat apapun tentara dari Majapahit dan Sumenep, tidak mungkin untuk menyerang ke pusat perintahan Jayakatwang. Tapi rupanya Arya Wiraraja telah melihat bahwa dilaut Jawa telah datang armada pasukan perang dari daratan China, yang berniat akan menghancurkan kerajaan Singasari, hal ini rupanya akan dimanfaatkan oleh Arya Wiraraja.
Raden Wijaya seakan tidak percaya kepada gagasan Arya Wiraraja, bilamana tidak dijelaskan bahwa nantinya akan memperalat pasukan perang China dengan siasat yang telah disusunnya. Maka dipersiapkannya pasukan kecil dipimpin oleh Arya Bangah untuk menyambut kedatangan armada besar dari daratan China di pantai Tuban. Di sana Arya Bangah mengibarkan bendera warna putih yang menandakan sebagai tanda persahabatan, dengan adanya tanda persahabatan tersebut maka laskar China dengan leluasa merapatkan kapalnya tanpa harus mengirimkan telik sandi terlebih dahulu. Setelah  keduanya bertemu dan bertukar pengalaman, terutama Arya Bangah banyak bercerita tentang situasi di pulau Jawa. Kemudian berangkatlah Jenderal Kau Sing bersama beberapa pasukannya mengiringi pasukan Arya Bangah menuju Majapahit.
Sesampainya di pedukuhan Majapahit  Jenderal Kau Sing disambut oleh Raden Wijaya dan Arya Wiraraja dengan gaya persahabatan. Kemudian Arya Wiraraja menjelaskan secara panjang lebar bahwa Raja Kertanegara telah meninggal dunia yang diserang oleh Jayakatwang, dengan demikian yang bertanggung jawab atas diri kesalahan Prabu Kertanegara tentang perlakuan memotong telingan utusan Kaisar Khu Bhila Khan duhulu adalah Jayakatwang yang saat ini pusat pemerintahannya dipindah ke Kediri. Sedangkan Jenderal Kau Sing yang tidak tahu persis pada situasi di pulau Jawa sangat mempercayainya, apalagi setelah melihat situasi tentang gelagat Raden Wijaya yang terkesan bersahabat. Apalagi Raden Wijaya menyatakan bersedia membantu bersama pasukannya semaksimal mungkin demi suksesnya misi dari utusan Kaisar China.
Selanjutnya kembalilah Jenderal Kau Sing ke Tuban untuk menemui Jenderal Che Pi sebagai Panglima perang utama, serta menuturkan bahwa Raja Kertanegara sudah meninggal dunia yang dibunuh oleh Jayakatwang. Sedangkan Jayakatwang memang banyak musuhnya di pulau Jawa, dan dialah orang yang bertanggungjawab atas prilaku Raja Kertanegara kala itu, serta diberitahukan bahwa ada Raja bawahan yang siap membantu pasukan China untuk menggempur Kediri serta membunuh Raja Jayakatwang, sebagai penanggungjawab atas perbuatan Prabu Kertanegara yang telah menghina utusan Kaisar Kubilai Khan.
Penawaran Raden Wijaya tersebut tidak disia-siakan oleh Jenderal Che Pi, karena selain bisa membantu menyerang Kediri dan tahu persis pada medan yang akan ditempuh. Juga nanti bisa sebagai pengganti Raja pulau Jawa yang harus tunduk pada kebesaran Kaisar Kubilai Khan, sebagai Maharajadiraja di belahan bumi China dengan membayar upeti setiap tahun sebagai tanda tunduknya tersebut. Hal mana bertolak belakang dengan siasat Arya Wiraraja, yang mana keberadaan armada perang China hanya sebatas sarana untuk bisa menaklukkan Jayakatwang, dan kemudian meneruskan tahta warisan dari leluhurnya,  dengan cara merebut kembali kekuasaan mertuanya yang kini telah direbut oleh Jayakatwang, dan selanjutnya dirinyalah yang akan  menduduki tahta kerajaan pulau Jawa.
Setelah mengadakan pertemuan antara Raden Wijaya dan Arya Wiraraja dengan ketiga Jenderal China, maka Jenderal Che Pi mengajukan syarat yakni bilamana nanti telah selesai peperangan maka semua harta rampasan perang akan dibawa ke negeri China, serta meminta pengakuan bahwa Raden Wijaya harus tunduk di bawah kekaisaran Kubilai Khan, dengan menulis sebuah piagam / dokumen. Sesak rasanya dada Raden Wijaya atas adanya syarat yang diajukan tersebut. Gelagat Raden Wijaya dipahami oleh Arya Wiraraja lalu diberi isyarat agar disetujui saja, nanti Raden Wijaya bisa berputar haluan untuk menghancurkan bala tentara China. Raden Wijaya mengerti pada strategi Arya Wiraraja  yang hanya merupakan siasat belaka. Untuk meyakinkan pada ketiga Jenderal China tersebut, maka Raden Wijaya bersedia membuat dokumen sesuai dengan permintaan ketiga Jenderal dari China tersebut.
Setelah selesai mengadakan perjanjian kesepakatan maka berangkatlah mereka menuju pusat kota Kediri yang dibagi atas tiga gelombang, gelombang pertama dipimpin oleh Jenderal Kau Shing yang didampingi oleh Ranggalawe dan Lembusora. Gelombang kedua dipimpin oleh Jenderal Jiko Mieshu yang didampingi oleh Kebo Anabrang dan Ra Nambi, sedangkan gelombang terakhir menyatu dengan pasukan dari Sumenep yang dipimpin oleh Jenderal Che Pi didampingi oleh Raden Wijaya dan Arya Wiraraja. Setelah sampai di Kediri maka terjadilah petempuran yang sangat hebat, sedangkan Jayakatwang sendiri tidak menyadari akan datangnya musuh sehingga persiapannya sangat kurang. dan atas adanya hal tersebut maka pasukan Jayakatwang hanya bisa bertahan di dalam benteng keraton Kediri. Lalu mengirimkan utusan agar tetap bisa menempati benteng untuk sementara kepada pihak Raden Wijaya. Permintaannya tersebut dikabulkan, tapi di luar benteng tetap dijaga ketat oleh pasukan China dan Sumenep.
Sebagian besar dari pasukan China Dan Sumenep kembali ke Majapahit, setelah berselang beberapa lama maka Raden Wijaya pamit pada Jenderal Che Pi untuk pergi ke Kediri akan membunuh atau menghancurkan sisa pasukan Jayakatwang di Kediri. Disamping juga akan mengambil harta rampasan perang yang akan dibawa ke negeri China. Oleh Jenderal Che Pi disetujui dan diberi bantuan pasukan secukupnya, dengan tujuan sambil memata-matai gelagat Raden Wijaya karena khawatir harta rampasan perang dari Kediri disembunyikan oleh Raden Wijaya.
Maka berangkatlah pasukan yang dipimpin oleh Raden Wijaya untuk menggempur sisa pasukan Jayakatwang di Kediri, di sana mereka bergabung dengan pasukan penjaga dan hancurlah kerajaan Kediri dengan kematian Arya  Ardharaja. Jayakatwang sendiri bersama dua putranya, yang lain yakni Silapati dan Silatanpuha lari ke gunung dan dikejar oleh Raden Wijaya, kemudian dibunuhnya. Tentang kematian Jayakatwang tersebut rupanya banyak dipertentangkan dalam sejarah, ada yang mengatakan Jayakatwang meninggal dunia dibunuh oleh Raden Wijaya di hutan kala melarikan diri ke gunung. Dan  ada lagi yang menuliskan bahwa Jayakatwang moksa atau musnah. Seperti salah satunya yang ditulis oleh B. Schreike, Indonesian Sociololgical Studies,W. Van Hoeve Ltd., The Hague, 1957, hal. 11, 246, 257, tertera :
 …...........demikian pula raja-raja Jawa menggunakan gajah sebagai kendaraannya, seperti Jayakatwang, Raja Kediri (1276-1293), bukan mati dalam pertempuran tetapi ia hilang dari tempat duduknya di atas gajah karena rekayasa paranormal yang ikut berperang melawan Raden Wijaya
 Maka selanjutnya dibawalah harta kekayaan istana Kediri untuk dijadikan harta rampasan perang dan nanti akan diangkut ke negeri China. Dalam perjalanan pulang ke Majapahit, Raden Wijaya menganjurkan pasukan China dan Sumenep beristirahat di hutan, dalam peristirahatan itu pasukan China ada ditengah-tengah pasukan Sumenep, setelah para pasukan China tertidur karena kelelahan, maka pasukan Sumenep melakukan pembantaian pada pasukan China. Kemudian Raden Wijaya dan tentaranya berangkat menuju Majapahit, disana harta rampasan diberikan kepada Jenderal Che Pi serta memberitahukan bahwa pasukan China masih berada di Kediri untuk menjaga situasi serta keamanan.
Rupanya tidak ikutnya tentara China ke Majapahit menimbulkan kecurigaan ketiga Jenderal China tersebut, maka mereka mengadakan perundingan tertutup. Hasil dari pertemuannya Jenderal Kau Shing mengusulkan agar segera pulang ke negerinya, karena telah mendapatkan harta rampasan perang dan surat dokumen tentang pengakuan Raden Wijaya atas kedaulatan negeri China. Tetapi Jenderal Jiko Mieshe ingin tetap bertahan untuk menunggu para pasukan yang ada di Kediri, dan bilamana sekian waktu tidak datang akan menghancurkan pasukan Raden Wijaya sebagai pertanggungjawabannya. Dikala para Jenderal mengadakan rapat, Arya Wiraraja memerintahkan Lembusora untuk membakar kapal-kapal pasukan China yang ada di Tuban, sedangkan sebagian besar pasukan Sumenep menghantam para pasukan China yang sedang lengah sehingga kocar-kacir dan lari bersama ketiga Jenderalnya menuju Tuban, tanpa sempat membawa harta rampasan perang. Sesampainya di Tuban mereka langsung naik ke kapal yang masih tersisa terus berlayar menuju ke negeri China dengan membawa kekalahan yang fatal. Sesampainya di negeri China, Kaisar Kubilai Khan sangat marah dengan memecat ketiga Jenderal tersebut karena dianggap gagal melaksanakan tugasnya. Hal itu memang menjadi suatu  ironi dalam sejarah China, yang gagal dalam mengirimkan pasukan expedisinya untuk menghukum Raja tanah Jawa.
Dengan hancurnya Jayakatwang dan tentara China, maka Raden Wijaya saat itu juga mendirikan kerajaan baru sebagai kelanjutan dari dinasti Ken Arok, dengan nama Wilwatikta atau yang dikenal Majapahit, dengan didukung sepenuhnya oleh strategi perang Arya Wiraraja. Dengan tenaga pasukan dari Sumenep, dan kemudian Raden Wijaya bergelar: PRABU SANGRAMAWIJAYA KERTA RAJASA JAYAWARDHANA. Selanjutnya untuk menjaga keutuhan pemerintahannya agar tidak timbul persoalan di kelak kemudian hari maka semua putri Prabu Kertanegara dijadikan Permaisuri.
Sangramawijaya Rajagung Binatara disanding oleh binihaji kinapatanira kartika papat yang bersinar cemerlang wangi semerbak dari keempat putri Prabu Kertanegara raja terakhir Singasari. Yang kesemuanya dijadikan permaisuri oleh Raden Wijaya.   yakni : 1) Gayatri Ragapadmi, 2) Tribuana, 3) Nahendraduhita, 4) Pradnya Paramita. Dan dalam perkawinannya dari Gayatri Ragapadmi mendapat seorang putri yang bernama Sri Wijaya Dewi, sedangkan dari Tribuana mendapat seorang putri juga bernama Kencanawungu Tribuana Tunggadewi. Sedangkan dari garwa selir yang bernama Darapetak dari Pamalayu mempunyai seorang putra bernama Galagemet. Kemudian Darapetak diganti nama mejadi Indraswari.
Demikianlah jasa-jasa dari Sang Arya Wiraraja selaku Adipati dari Sumenep, dalam memperjuangkan berdirinya kerajaan Majapahit. Dengan strategi politiknya yang cukup handal Arya Wiraraja mampu mengatur peperangan yang cukup rumit dan mengandung resiko yang sangat besar.  
Setelah Sang Adipati Arya Wiraraja berhasil membantu Raden Wijaya dalam merebut kekuasaan Jayakatwang yang sebelumnya direbut dari Prabu Kertanegara mertua Raden Wijaya, maka Arya Wiraraja diangkat menjadi Adipati di Lumajang, yang menguasai Jawa timur bagian timur.
3. PENGANGKATAN JABATAN
Dengan hancurnya Jayakatwang dan tentara China, maka Raden Wijaya telah menjadi raja. Dengan demikian maka semua para pengikut setianya diberi jabatan sesuai dengan kemampuannya.
Dalam piagam (prasasti) Kudadu yang bertarikh 1216 tahun saka atau tahun 1294 masehi, atas berhasilnya perjuangan Raden Wijaya, maka semua pengikut setianya diberi kedudukan, disebut dengan nama-nama sebagai  berikut :
1.    Rakyan Menteri Arya Adikara Wiraraja, diberi hak kekuasaan di wilayah timur Jawa Timur, meliputi Besuki, Lumajang, dan Panarukan terus ketimur hingga Blambangan , yang ibukotanya di Lumajang,
2.    Rakyan I Hino - Dyah Pamasi,
3.    Rakyan I halu - Dyah Singlar,
4.    Rakyan Menteri Sirikan - Dyah Palisir,
5.    Dharmmadyaksa Kasaiwan – Dang Acarya Agraja,
6.    Dharmmadyaksa Kasogatan – Dang Acarya Ginantaka,
7.    Pamegat Tirwan – Mapanji Paragata,
8.    Pamegat ring Pamotan – Dang Acarya Anggareksa,
9.    Pamegat ring jambi – Dang Acarya Rudra,
Nama yang disebut dalam Piagam Pananggungan, bertarikh 1218 saka atau 1296 masehi, sebagai berikut :
1.        Rakyan Mapatih Mangkubumi Majapahit – Arya Nambi,
2.        Rakyan Mapatih Daha – Arya Lembusora
3.        Adipati Mancanagara ring Tuban – Arya Ranggalawe yang diberi kekuasaan wilayah pesisir utara pulau Jawa,
4.        Rakyan Demung – Empu Renteng,
5.        Rakyan Demung Daha – Empu Rahat,
6.        Rakyan Kanuruhan – Empu Elam,
7.        Rakyan Rangga – Empu Sasi,
8.        Rakyan Rangga Daha – Empu Dipa,
9.        Rakyan Tumenggung – Empu Wahana,
10.   Rakyan Tumenggung Daha – Empu Pamor,
11.   Sang Nayapati – Empu Lungga,
12.   Sang Pranaraja – Empu Sina ,
13.   Sang Styaguna – Empu Bangah, yang dijadikan Adipati di Sumenep dengan menggantikan gelar Arya Wirajaya, dari keturunan inilah maka lahirlah pemimpin-pemimpin Sumenep hingga saat ini,
14.   Kebo Anabrang,  diangkat menjadi Tumenggung,
Pada tahun 1297 (menurut DR Prijohutomo th: 1293), melakukan ekspedisi ke kerajaan Malayu, dan pasukan Majapahit dipimpin oleh Ranggalawe, Kebo Anabrang dan Arya Nambi, sehingga kemenangan berada di pihak Majapahit,  mendapatkan  dua orang putri dan seorang putra yakni Dara Petak, Dara Jingga dan Adityawarman, sedangkan Dara Petak dan Dara Jingga dijadikan garwa ampean (selir) Raja Raden Wijaya, dan dari Dara Petak inilah lahirlah seorang putra bernama KALAGEMET yang kelak kemudian menjadi Raja Majapahit menggantikan Raden Wijaya, dengan nama Prabu Jayanegara. Dara Petak karena berjasa melahirkan putra mahkota maka namanya diganti menjadi : Indraswari.


bersambung ..............................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar